Siang tadi adalah hari yang berkesan buat saya. Bukan. Bukan karena saya habis gajian (wong udah lama off-project..hehehe). Bukan pula karena saya habis dari Mal Ambassador dan membeli beberapa DVD film (umm..maafkan saya, saya masih beli yang versi pak tani). Tapi hari ini berkesan karena hari ini saya kebetulan satu angkot dengan malaikat. Ya. Saya tau ada dari teman-teman yang langsung mengernyitkan dahi (duile istilahnya 😀 ) begitu membaca judul post kali ini. Just keep reading the story, will you?Â
Cerita bermula dari perjalanan saya pulang dari Mal Ambassador, Jakarta. Sekitar pukul 3 sore jalanan depan mal sudah begitu padat. Langsung saya cegat mikrolet M44 yang pertama lewat dan menuju terminal Kampung Melayu. Lama juga ya dipikir-pikir saya nggak naik angkot. So nostalgic (sok gaya..hehehe). Berhubung jalanan macet dan daripada bengong saya isi waktu dengan YM-an dengan teman-teman. Nggak lama juga sih, soalnya batere di hape semakin menipis dan selang beberapa waktu akhirnya saya sampai di terminal Kampung Melayu. Beli gorengan 4 buah masing-masing seharga Rp 500 dan Aqua botol Rp 3000 untuk sekedar mengganjal perut. Total berapakah saya belanjakan siang itu? Makin ngaco. Hehehe 😀
Angkot M28 yang saya tuju ternyata masih ‘ngetem’ (duh, bahasa Indonesia yang benar untuk istilah ngetem apa ya?). Ngetem-nya pun ngetem gila alias saya calon penumpang pertama. Saya memilih duduk di samping pak kusir, eh, supir dengan alasan keamanan (ini satu tips naik angkot: kalo sepi jangan naik di belakang karena kita berpotensi untuk jadi korban kriminalitas). Saya tawari pak supir gorengan saya. Dengan manis beliau menolak. Kasihan mungkin lihat wajah saya yang kelaparan…hehehe.
Gorengan habis, air mineral habis. Panas masih menyengat. Saya tengok ke arah kabin belakang pelan-pelan (sok dramatis) dan ternyata angkot masih kosong! Padahal mungkin sudah lewat 15 menit saya duduk manis di angkot itu. Lewat 2 waria di depan angkot dan saya perhatikan sekilas lirikan pak supir mengikuti arah mereka. Saya iseng ajak ngobrol.
“Aneh-aneh aja ya Pak jaman sekarang?”, kata saya.
Pak supir cuman menjawab dengan senyuman kecilnya. Duh, pak supir ini ternyata unyu sekali ya 😀
Finally! Akhirnya setelah menunggu sekitar 40 menitan angkot penuh juga. Aksi ngetem ditutup dengan naiknya satu mahasiswi yang sebelumnya sempet mau naik tapi tidak jadi. Datangnya si mahasiswi disambut nafas lega para penumpang dan celetukan ibu-ibu berjilbab yang duduk di pojokan.
“Nah..dari tadi naik kenapa, Mbak. Kan kita udah sampai Cawang harusnya…” Hehehe 😀
Perjalanan pulang lancar karena lewat tol. Keluar dari tol kami disambut kemacetan di daerah depan Tamini Square. Memang biasa sih macet daerah situ terutama jam pulang kantor. Tiba-tiba di tengah kemacetan padat merayap itu pak supir berseru.
“Itu ibu-ibu bayarnya sama siapa ya? Ada temennya yang bayar di belakang?”
Semua orang kaget. Ternyata ada satu ibu-ibu berjilbab dan berbaju coklat yang turun di tengah kemacetan dan berjalan begitu saja tanpa membayar angkot. Ternyata tidak ada satu pun di angkot itu yang mengaku kenalan atau akan membayar untuk ibu itu. Dari tempat duduk depan saya pun tidak sempat melihat wajah si ibu-ibu itu. Saya cuma melihat  ibu-ibu itu berjalan cepat di antara kerumunan orang-orang yang berjalan di pinggir jalan.
Pak supir pun mulai gusar. Sibuk membunyikan klakson-nya berharap si ibu mendengar dan menyadari kealpaannya. Si ibu tetap berjalan cepat menembus kerumunan dan segera menghilang dari pandangan kami, sementara angkot berjalan pelan karena kemacetan. Pak supir masih sibuk mencoba melihat ke depan, mencari-cari sosok si ibu itu. Walau pun lirih omelannya saya bisa merasakan kalau Pak supir sedih dan kecewa.
“…kayaknya (si ibu itu) nyambung angkot lain ya…”, keluh Pak Supir lirih. Sedih.
Melihat kegalauan Pak supir saya keluarkan selembar uang 10 ribuan dari kantong saya dan saya bilang setengah berbisik ke beliau.
“Pak, mungkin ibu itu lagi banyak pikiran jadi lupa bayar. Saya akan turun nanti di Pondok Gede. Ini bayaran untuk ongkos saya dan ibu tadi.”
“Terima kasih ya  mas…”, balas Pak Supir pelan sambil menatap saya dan memberikan kembalian dua ribu rupiah.
“Sama-sama, Pak.”, jawab saya.
Singkat cerita saya akhirnya sampai di Pondok Gede. Saat turun saya bisa melihat wajah Pak Supir yang kembali ceria, kembali bersemangat. Saya pun turun sambil berterima kasih ke Pak Supir tersebut.
Mungkin teman-teman sudah bisa menebak siapa malaikat yang saya maksud.
Ya. Ibu-ibu berjilbab itu lah malaikat yang se-angkot dengan saya siang tadi. Ibu-ibu itu lah yang memberikan saya kesempatan untuk mengeluarkan sebagian rizki saya siang tadi. Empat ribu rupiah memang bukan jumlah yang besar untuk sebagian besar dari kita. Tapi empat ribu rupiah itu telah mampu mengembalikan kembali senyuman yang sempat hilang berganti kesedihan dari wajah tua dan letih Pak Supir. Memberikan kembali semangat setelah lebih dari 40 menit berpanas-panas menunggu penumpang menaiki angkotnya.
Malaikat ada di sekeliling kita semua.
Mungkin mereka berwujud bapak tua pengemis sakit-sakitan di sudut jalan atau anak kecil ojek payung yang rela hujan-hujanan menantang sakit untuk membantu ibunya. Mungkin juga mereka berwujud teman atau keluarga kita yang sedang ditimpa musibah dan kesusahan dan membutuhkan pertolongan kita. Mungkin malaikat itu akan berwujud ibu dan bapak kita dan mengingatkan kita untuk selalu berusaha membahagiakan mereka. Kalau suatu hari teman-teman bertemu malaikat itu, hanya satu saran saya: give your best shot! Â Berikan yang terbaik untuk mereka!
*like*
Thanks for reminding us with your lovely story.
wah…seru ya ceritanya. emang bener Sin, kita gak pernah tahu kan kalo2 di sebelah kita ada malaikatnya
Mudah2an makin sering dapet kesempatan itu ya Sin….
*like juga* salam buat ibu ibu berjilbab itu yaa…
Pak angkotnya termasuk tipe yang sabar juga yaaaah, kesabarannya membuahkan rejeki….